cerita itu perlu

Thursday, November 23, 2017

Pertanyaan Dari Seorang Anak Kecil

No comments :
Aku masih sangat percaya, pada kebodohanku saat itu. Kebodohan karena sebuah pertanyaan seorang anak kecil yang dia utarakan kepadaku. Mereka benar-benar berkualitas filsuf, pertanyaan yang sangat cerdas yang bagi orang bodoh sepertiku sangat membingungkan.
Walaupun aku terkadang meragukan nilai pertanyaan itu, karena sekilas mereka bertanya karena suatu kebetulan saja. Begitu indah pemikiran seorang anak-anak, mereka memiliki rasa penasaran yang mengalir tanpa ada hambatan logika dan fakta, rasa penasaran yang murni yang mereka utarakan tanpa didahului melihat nilai-nilai orang dewasa. Mereka melihat, mendengar, merasakan lingkungan dan orang lain, dan melahirkan berjuta penasaran di kepalanya, dan sekali lagi mereka tak akan segan-segan menanyakan kebenaran yang semestinya.
Saat itu aku sedang berjalan di trotoar setelah keluar dari sebuah minimarket, tepat di depan minimarket adalah lampu APIL. Seharusnya aku menyeberang melewati zebracross di jalan itu, tapi harus tertahan oleh suara panggilan teman lama.
Aku urungkan niat untuk menyeberang jalan, dengan senyum bahagia aku mendekati teman lamaku. Cukup lama kami bernostalgia ria sambil duduk dieperan minimarket, dari perbincangan itu ternyata dia sudah berkeluarga dan sekarang sudah memiliki seorang anak laki-laki.
“Jadi kamu sudah punya putra?…”
“Iya,… kamu jangan kelamaan melajang, kapan mau menikah…haha…”
“Haha… belum menemukan yang cocok…”
“Yah… diniati cari ya! Nanti pasti dapat yang cocok… kalau Cuma duduk saja kapan punya momongan…”
“Haha… sudahlah aku bingung nih kalau ngobrolin soal jodoh…”
“Jangan Cuma Move on dong, Jump on… lupain si… siapa dulu ayankmu waktu kuliah?…”
“Aku sudah lupa!!!…”
“Serius?…”
“Kamu mau bikin aku move on atau sebaliknya?…”
“Bercanda bro… haha”
“Ayah!!!…” tiba-tiba ada suara anak laki-laki kecil yang kini dia berlari memeluk teman lamaku.
“Ini putraku Rud,… ayo de kenalan sama om Rudy…”
Aku tersenyum kepadanya, menanyakan namanya, tapi dia hanya malu-malu di balik punggung ayahnya.
Tidak lama berselang, keluar seorang wanita muda dari pintu minimarket. Aku kenal dia, Nurul Isnaeni pemenang lomba baca puisi yang pernah organisasiku di kampusku adakan.
“Loh… Mas Rudy,…”
“Mba Nurul,… owalah ternyata ya,…” aku menepuk pundak teman lamaku penuh rasa salut.
“Apa to, biasa saja tidak usah terkejut seperti itu…”

“Siapa yang terkejut…” balasku kepada teman lamaku.
“Mas Rudy sekarang kerja dimana?…” Nurul bertanya kepadaku sambil melayani anaknya yang rewel meminta es krim di tangan ibunya.
“Deket sini mba, itu gedung kantorku…”
Nurul mengangguk kepadaku tapi dia kembali meladeni anaknya yang semakin rewel.
“Ma… Maa ade yang pegang es krimnya…”
“Nanti jatuh semua, yang ditangan ade kan belum habis…”
“Maa…”
Akhirnya anak laki-laki yang sedang rewelnya itu berhasil membuat ibunya memberikan es krim yang utuh.
“Om… Mail punya es krim dua…”
Aku tersenyum lebar kepada teman lamaku.
“Buat Om satu sini… anakmu lucu juga Yos, tadi malu-malu sekarang pamer es krim haha…” aku melihat anak kecil itu dan berpaling kepada teman lamaku.
“Ini es krim mail yang satu buat Om… jangan dimakan!…”
“Loh ko jangan dimakan?…”
“Iya… soalnya yang ini buat anak om dirumah…”
“Rumah Om jauh, nanti mencair dijalan…”
Tiba-tiba keluar seorang wanita cantik dari dalam minimarket dan langsung menyapa kami semua. Dia adalah Fani Fatmawati teman satu kelasku saat kuliah.
“Loh Mas Yosi disini,… Mba Nurul juga…”
Nurul dan Fani saling cipika-cipiki, sedang Mail dengan manjanya duduk di pangkuan ayahnya.
“Ayah… es nya pegangin…”
“Buat ayah de?…”
“Jangan,… pegangin saja,…” mail lalu turun dari pangkuan ayahnya dan menarik tangan ibunya. “Yah… mama cobain es krimnya! Yah… Suapin mama es krimnya…”
“Ade… jangan rewel ayo… malu sama om tante…” ibunya memberi intruksi.
“Yah… ayah, cepet mama biar ikut makan es krimnya…”
Akhirnya Yosi teman lamaku dan Nurul sebagai pasangan suami istri mengalah kepada anaknya, lalu mereka saling menyuapi es krim itu. Aku hanya bisa melihat suami istri itu yang sedang mesra.
“Om… juga suapi Tante, kaya ayah ibu Mail…” dia menarik-narik tanganku yang memegang es krim untuk didekatkan kepada Fani. Tapi, aku menahan tenaganya.
“Ayo dong om, kaya ayah sama ibu Mail…”
“Tapi om tidak bisa,…” jawabku halus kepadanya.
“Kenapa om, ayah sama ibu Mail ko bisa?…” aku diam dan melirik Fani.
“Ya sudah, kalau begitu es krimnya kembalikan ke Mail…” dia terlihat mengambek, dan ku berikan es tersebut kepadanya.
“Ini buat tante…”
“Makasih ade Mail…” Fani mengelus-elus rambut Mail dengan halus.
“Tante Suapin om Rudy!!!…”
Fani terlihat bingung.
“Tapi tante tidak bisa…” wajah Fani terlihat memerah muda.
“Kenapa tidak bisa tante?…”
“Anu… gimana ya… pokoknya tante belum bisa…”
“Ya sudah, tapi tante janji es krimnya buat anak om sama tante…”
“Anu tante belum…” Fani terdengar memotong kata-katanya sendiri dan memandang Nurul dengan senyum bingung.
Kenyataannya setelah hari itu, pertanyaan Mail kenapa aku tidak bisa menyuapi es krim kepada Fani ataupun sebaliknya belum aku jawab secara gamblang kepada Mail. Semoga Mail tidak terlalu penasaran akan hal itu. Yang jelas. Kenyataannya. Setelah delapan bulan berlalu setelah pertemuanku dengan Yosi teman lamaku dan istrinya. Kini, aku sedang membeli es krim di minimarket itu.
“Kamu mau yang rasa apa?…”
“Yang coklat boleh…”
“Mau disuapin?…”
Fani mencubitku.
“Nggombalnya dirumah saja!!!…” suaranya lirih.
“Siapppp…”


anak kecil
penuh dengan pemikiran nan bebas
tanpa terframe oleh teori, ideologi, status sosial dan politik
mereka bersih,
mereka pantas,
pantas anak kecil bertanya apa saja
anak kecil, walau kecil mereka memiliki pemikiran yang besar
anak kecil

No comments :

Post a Comment