cerita itu perlu

Thursday, November 23, 2017

Perebutan Kursi Kereta- Kartini

1 comment :
Udara panas di siang hari bulan Juli benar-benar memanggang kepala. Sudah sekitar empat puluh lima menit kereta yang aku tunggu belum juga datang, tak disangka rumor kereta terlambat belum hilang sejak ditulisnya lagu “Kereta Tiba Pukul Berapa” oleh om Iwan Fals. Sekedar untuk menghibur dan menenangkan diri, lalu aku bersenandung lagu itu di dalam hati.
Tepat satu setengah jam setelah aku duduk sendiri di stasiun atau satu jam setelah seharusnya aku sudah berangkat, kereta yang sudah kurindu datang juga. Puluhan orang yang sedari tadi bergelisah menunggu bersamaku, bergegas masuk kedalam kereta, berharap mendapat satu tempat duduk dan menikmatinya hingga sampai di tujuan. Kereta jarak dekat antar kota kabupaten tak ada istilah nomor kursi. Kereta benar-benar sesak, jangankan berharap kursi, untuk duduk dilantai pun harus berdesakkan dengan tas dan keranjang penumpang.

Penuh betul gerbong yang aku tempati, tua muda, pria wanita dan koper-koper yang tak mendapat rak barang bawaan saling berbagi tempat. Hampir semua orang digerbong tak saling berbincang, semua fokus dengan handphone yang mereka bawa. Dari berjibunnya manusia di gerbong ini, tak satu pun kukenal mereka. Aku yang hanya memiliki handphone monokrom dan tak ada satupun pesan yang masuk, hanya terdiam duduk mulai menggambar kereta dengan pensil warna yang selalu ku bawa di tas slempangku. Duduk sendiri bersama kertas, pensil dan dikelilingi orang-orang yang berdiri diam membisu.

Kereta berhenti di salah satu stasiun, gerbong yang tadinya sesak sesaat menjadi longgar. Aku tidak meninggalkan tempatku walau ada kursi yang kosong, tempatku nyaman untuk menggambar. Pintu kereta sudah tertutup otomatis, kereta mulai berjalan.

PEREBUTAN KURSI KERETA “Mas… boleh berdiri? Saya mau duduk disitu…” seorang wanita paruh baya tiba-tiba meminta seorang laki-laki yang duduk dikursi untuk berdiri.

Laki-laki itu hanya melihat kosong kepada wanita yang tiba-tiba datang tersebut.

“Mas dengar tidak, saya mau duduk disitu. Mas kan harus dahulukan wanita!…”

“Kenapa Ibu memaksa mas ini?…” seorang bapak-bapak tiba-tiba masuk dalam perbincangan.

Laki-laki yang duduk itu mulai bergerak untuk berdiri dari tempatnya, tapi bapak tersebut menahannya.

“Mas jangan pindah dulu, biar kita tanya alasan beliau…” bapak itu Menahan pundak laki-laki itu dengan tangannya dan memandang kepada wanita paruh baya di depannya.

“Alasan Ibu meminta mas ini pindah tempat duduk apa Bu?…”

Sesaat wanita paruh baya itu terdiam, namun masih dengan wajah tegangnya.

“Ya kan saya perempuan pak, ya mas ini harusnya mendahulukan kepada perempuan yang lebih tua… ya kan Bu…” wanita paruh baya itu menengok kepada Ibu-ibu yang ada digerbong. Hampir semua mengangguk.

“Loh apa karena alasan anda seorang perempuan terus bisa seenaknya mengambil hak orang lain?…”

“Siapa yang mengambil hak orang lain, ini kan masalah aturan sopan santun…”

Suasana hening.

“Ibu sakit? Atau sedang hamil?…”

“Bapak kok tanya seperti itu?…”

“Kalau Ibu sedang sakit, saya akan paksa mas ini pindah tempat…”

“Saya sehat kok pak… bapak kenapa sih, wong saya yang mau duduk ko bapak permasalahin…” Wanita paruh baya itu lalu menoleh ke laki-laki yang duduk di kursi.

“Lah terus apa guna perjuangan Kartini?…”

“Loh kok tiba-tiba disambungin ke Kartini Pak?…”

“Lah terus apa gunanya perjuangan Kartini? Dulu beliau berjuang agar kaum wanita tidak selalu dibawah dan bisa sederajat dengan kaum laki-laki…” kata bapak itu penuh semangat.

Suasana hening.

Laki-laki yang duduk dikursi berdiri lalu mencari tempat baru, dia sekarang berdiri di sampingku. Wanita paruh baya itu lalu duduk di tempat duduk bekas laki-laki yang sekarang berdiri disampingku. Kereta kembali berhenti di salah satu stasiun. Bapak yang tadi bersitegang turun di stasiun ini.

Pintu kereta kembali tertutup. Entah mengapa kursi sekarang lebih banyak diisi oleh wanita, mungkin laki-laki seketika telah berubah menjadi seorang pria.

“Ibu mau duduk? Silahkan jangan sungkan-sungkan…”

Seorang laki-laki tiba-tiba menawarkan tempat duduknya kepada seorang wanita yang membawa anak laki-laki rewel di gendongannya.

“Ngga papa pak, saya berdiri saja…”

Sepertinya laki-laki itu tetap pada pendiriannya, dia berdiri dengan susah payah. Terlihat mencari ruang kosong, dia bergerak dengan susah payah. Semua menyadari kaki kanannya tidak utuh. Dengan bantuan sebuah tongkat kruk dan beberapa orang yang berdiri, dia sekarang telah duduk di samping kananku, di lantai.

“Saya duduk disini ya mas?…”

Aku tidak menjawabnya, aku melongo memandangnya.

“Oh…,”

“Kamu juga memikirkannya nak?…”

“Apa ya pak?…”

“Haha… sekilah kamu perhatikan Ibu itu?…” matanya melihat wanita paruh baya yang meminta seseorang pindah tempat duduk.

“Bapak ga papa duduk di sini?…” aku coba memalingkan tema pembicaraan.

“Ohh… aman-aman! santai saja…”

Dia tiba-tiba memandangku tajam, lalu memegang pundakku dengan tepukan yang mantap.

“Hidup itu memang tidak sederhana, ada banyak prinsip dan perbedaan cara memahaminya, jadi jangan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar dari perebutan kursi tadi…”

“Jadi tadi yang benar siapa pak?… Ibu yang meminta kursi atau…”

“Jangan dipikirkan…” dia memotong pertanyaan tiba-tibaku.

“Hidup sederhana saja, lakukan yang terbaik untukmu, dan orang lain…” katanya.

“Bukannya bapak tadi bilang hidup itu tidak sederhana…”

Dia menjitak kepalaku.

“Nanti kalau kamu sudah besar pasti paham!…”

“Saya 19 tahun!,..”

“Oh ya? Kenapa masih gambar pake pensil warna?…”

“Ada banyak prinsip dan perbedaan cara memahaminya…” kataku dengan cool.

Dia menjitak kembali.


Cerita Pendek ini merupakan sebuah cerpen yang lahir untuk memperingati hari kartini. pada hari kartini pada tahun 2014 cerpen kartini ini tercipta. semoga memberikan positif. selamat hari kartini.
Share this:
Click to share on Twitter (Opens in new window)
Click to share on Facebook (Opens in new window)

1 comment :