cerita itu perlu

Thursday, November 23, 2017

Kapur Tulis Patah Yang Menyatukan

No comments :

Kapur Tulis Patah Yang Menyatukan

Aku terdampar sendiri di pojok ruang segi empat ini, di tengah keramaiannya. Ribuan kata terlontar saling beterbangan tepat di depan mata. Hanya saja, hanya aku, hanya mungkin yang terpaku diam, di dalam kelas hiruk pikuk ini. Beberapa kali kertas remasan yang terlempar-lempar oleh anak kelasku, menyasar kepadaku. Aku masih terdiam, memikul seribu kebingungan.
Guru matematika memasuki ruangan kelas, dengan beberapa buku di tangannya. Perlahan tangannya menghapus setiap sisi papan yang penuh coretan kapur, lalu beranjak kemejanya membuka halaman-halaman bukunya. Dia berdiri ke sebelah papan tulis, dengan matanya yang masih tertuju serius ke halaman bukunya, dia meraba-raba tempat kapur tulis. Kosong.

Tatapannya pecah, tak ada kapur tulis, maka tak ada kata dan angka tertulis di papan. Matanya tajam melihat seisi ruang, mencari setiap laki-laki berbaju lusuh, lusuh setelah perang kapur yang menyenangkan. Aku, aku tak pernah terlibat dalam pertempuran menarik itu, tidak pernah.

Aku yang duduk diam, tanpa teman semeja, tanpa lawan bicara, apa lagi lawan lempar kapur dan kertas remasan, tapi keadaan sekarang aku dicurigai telah menghabiskan kapur. Dia melihat bajuku yang lusuh penuh lipatan. Melihat begitu berserakan kapur-kapur kecil di sekitar mejaku, target setiap lemparan-lemparan kapur yang tak tepat sasaran. Guru matematika berjalan pelan mendekatiku, memberi petunjuk bahwa kapur-kapur berserakan di sekitar mejaku.

Kata-katanya pelan, tegas, penuh makna perintah. “Ambil kapur di kantor sekolah !!!.“

Aku tak bisa mengatakan apa-apa, tak ada rangkaian kata yang saling menyatu membentuk sebuah kalimat, atau setidaknya satu kata Iya atau tidak, untuk menegaskan aku menyetujui perintahnya atau menolaknya.
kapur tulis patah yang menyatukan

Terlalu lama tidak berteman, telah merenggut kemampuan komunikasiku. Terlalu lama tidak berteman telah menyebabkan sampah-sampah kapur menumpuk di pojok kelasku. Anak berteman, tidak akan membiarkan kapur yang terlempar kepadanya didiamkan, dia akan melempar kembali kapur itu ke punggung teman lainnnya.

Aku beranjak dari mejaku, melangkah meninggalkan pojok ruangan yang sunyi itu. Terdengar suara krak, kapur-kapur kecil hancur oleh sepatu usangku. Guru matematika berjalan mengikutiku menuju depan kelas lagi, bunyi krak kembali terdengar.

Jatah kapur tulis kelasku hari ini tinggal tiga, sekolah membatasi hanya sepuluh per hari per kelas karena fenomena perang kapur. Buku besar bergaris di meja guru piket penyedia kapur, telah tertulis tiga nama anak dari kelasku, termasuk aku. Tiga anak telah mengambil kapur untuk kelasku, untuk perang kapur yang tak akan berakhir hingga suara bell pulang bergetar kaku.

Halaman sekolah sepi, hanya terlihat beberapa guru yang berjalan terburu-buru kembali kekelas setelah memenuhi panggilan alam di wc umum sekolah yang terlampau wangi menyesakkan. Beberapa gadis tetangga kelas, berjalan dengan celoteh ramai disetiap langkahnya. Mengapa para gadis tak pernah berani ke wc umum sendirian? Akan tetap menjadi misteri laki-laki seumur hidupnya.

Pintu kelas tertutup rapat, tak ada jendela kaca di tembok samping pintu, menghalangiku melihat keadaan didalam kelas dari luar. Pintu aku buka pelan-pelan, takut membuat berisik mengganggu guru menerangkan materi yang rumit.
Pintu terbuka lebar, pandanganku terpaku sesaat. Guru matematika tidak di dalam kelas, panggilan alam menguatkan langkah kakinya meninggalkan kelas. Aku masuk kedalam kelas, dengan tiga kapur di genggaman tanganku.

“Brakk….

Aku jatuh ke lantai, jemari tanganku terbuka, kapur-kapur panjang bertebaran terbelah-belah. Kini tak ada lagi kapur yang panjang, semua telah menjadi potongan kecil yang siap meledak. Aku melihat seorang anak laki-laki bangkit dari jatuhnya. Dia menabrakku ketika sesaat aku masuk kedalam kelas. Matanya kaget, penuh rasa bersalah. Sementara beberapa anak laki-laki di kursi deretan tengah sedang tertawa lepas.
“Tak…
Sebuah kapur kecil mendarat di kepalaku.
“Tak…Tak…Tak…

Serbuan peluru kapur menggempur anak laki-laki yang sedang berusaha bangkit dari jatuhnya, dia tidak merasa marah, dia tertawa penuh dan memasang tangannya untuk tameng pertahannan perang. Beberapa kapur yang berterbangan mengenaiku, beberapa kapurku yang patah di ambil anak laki-laki itu, lalu melemparnya dengan gempuran yang mengesankan. Kapur-kapur itu berterbangan menuju meja-meja anak laki-laki di deretan belakang. Puluhan anak perempuan berontak keras, mengomel memprotes namun tak di hiraukan. Beberapa kapur mengenai jidat mereka, para anak perempuan semakin kecewa.

Para anak perempuan mengambil sisa-sisa peluru kapur yang mendarat di meja mereka. Mereka mengumpulkannya untuk disita, perlahan jumlah kapur yang terlempar berkurang, sampai akhirnya habis tersita oleh para anak perempuan.
Kini, protes datang dari para anak laki-laki. Dengan wajah cemberut manyun, para anak perempuan membuang muka dari para anak laki-laki, sedang tangannya menggenggam erat puluhan potongan peluru kapur.

Tak kuat diprotes oleh anak laki-laki yang kata-katanya semakin menyudutkan mereka. Salah satu anak perempuan, membuka tangan penuh kapur itu. Perang kapur antara anak laki-laki dan perempuan telah berkobar.

“Tak… Tak,

Sekarang semakin sering aku terkena peluru nyasar dari mereka. Aku masih berdiri diam tidak berkutik di depan kelas.
Tanganku mengepal, tekadku bulat, tak inginku hanya menjadi pigura perang kelas tensi tinggi ini. Aku ambil potongan kapur nyasar itu, ku genggam erat kuat, dan ancang-ancang.
“Akhhhgrrrccc… awas…”

Lemparanku mengenai seorang anak perempuan yang sedang membaca buku, yang tenang tidak mengikuti perang panas ini. Semua anak di kelas tiba-tiba diam, sunyi tak ada suara. Aku bingung, sungguh bingung.
“Tak.. Tak… Trak

Aku melempar kapur kesembarang arah, aku tak mau malu, aku akan menyulut perang kapur ini, demi kehormatanku. Beberapa anak perempuan galak terkena seranganku, mereka mulai tersulut oleh lemparanku. Anak perempuan yang tadi membaca buku dan tenang itu, kini berdiri dan memasang ancang-ancang melempar kepadaku. Matanya merah, penuh amarah.
Perang kapur jilid dua kembali terjadi, antara aku dan semua anak perempuan di kelas. Sesaat setelah aku mulai lengah, bantuan akhirnya datang.

“Jaya, aku minta kapurnya!…”

Anak laki-laki yang tadi menabrakku, memanggilku dan meminta persediaan peluru yang aku miliki. Dia mulai melempar kepada anak perempuan, sedang akhirnya anak laki-laki lainnya mengikutinya, mengumpulkan kapur yang berjatuhan di lantai, dan melemparkannya. Perang kembali berkobar membara.

Pintu kelas berderik, guru matematika berdiri di ambang pintu. Sesaat itu juga kami kalah, kalah dari anak perempuan dalam pertempuran kapur. Aku dan beberapa anak laki-laki, dijewer keluar sampai masuk ruang bimbingan konseling. Kupingku panas, panas oleh jeweran dan oleh omelan guru. Setelah perang itu, selalu ada perang kapur yang selanjutnya. Setelah perang itu, setelah dua minggu aku pindah ke sekolah ini, setelahnya aku telah mempunyai teman.

No comments :

Post a Comment