cerita itu perlu

Wednesday, November 12, 2014

Aku Berfikir Mengapa Aku Berfikir

No comments :
Malam semakin larut, dingin udara kembali menusuk tulang rusuk, selimut sarung ini tak lagi bisa menahan sengatan tengah malam. Mimpi-mimpi indah yang mungkin seharusnya sudah terputar dalam dunia tidur tak kunjung bisa aku nikmati. Yang ada aku sekarang terkurung oleh logika tak kunjung henti, seperti seorang filsuf yang selalu mempertanyakan kenapa sesuatu ada, aku sendiri dalam keheningan gelap malam ini menanyakan kenapa otakku tak bisa berhenti berfikir tentang kenapa aku tak bisa menghentikan fikiranku tentang kenapa otakku tak bisa berhenti berfikir kenapa aku tak bisa berhenti berfikir… bla…bla…bla…. Shitt man!!!!



Seorang bisa tertidur karena dia bisa membawa otaknya untuk beristirahat, membawa fikiran ke dalam suasana tenang dan akhirnya kita bisa terbawa masuk dalam dunia tidur. Diawali dengan proses mengantuk dan berkurangnya kesadaran akan lingkungan sekitar. Otak meresppon rasa kantuk dengan menurunkan tingkat konsentrasi terhadap lingkungan sekitar dan mengendalikan diri kita agar secara perlahan memasuki alam bawah sadar kita. Mimpi.


Namun, malam semakin larut. Rasa kantukku pun sudah sangat memuncak. Indera-inderaku sudah sangat lelah. Mataku tentu sudah sangat lebam. Tapi. Fikiranku tak kunjung berhenti, seolah-olah membuat serangkaian cerita-cerita heroic yang sangat sulit dikendalikan untuk dihentikan. Seperti sebuah lingkaran fikiran, berputar-putar menanyakan hal yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan. “Kenapa aku tak bisa berhenti berfikir tentang kenapa aku tak bisa berhenti berfikir?”. Ketika sadar pertanyaan itu tak ada jawabannya, imajinasi otakku memutar cerita-cerita masa lalu, lalu kembali sadar, kenapa aku malah memikirkan cerita-cerita masa lalu? Bukankah itu sama halnya tidak membuat aku berhenti berfikir sehingga aku tidak bisa tidur. Lalu kembali aku berfikir tentang kenapa aku tidak bisa berhenti berfikir tentang kenapa aku tidak bisa berhenti berfikir?????


Selimutku ku sisihkan, membuka baju dan menyalakan lampu. Aku menatap kaca jendela. Terlihat wajah kusut yang sedang bimbang memikirkan kenapa aku tak bisa berhenti berfikir tentang… yah seperti itulah. Aku coba mengangkat kursi belajarku, kuganti fungsinya untuk membuat keringat. Seratus kali angkatan kursi memang membuat tanganku terasa ngilu, namun belum mampu membuat otakku melemah. Dengan harapan akan merasa kelelahan, aku teruskan aktivitas janggal di tengah malam ini. “Mengangkat kursi”.


Keringat bercucuran, badan kurus ini mulai terasa lelah dan mengantuk berat. Aku mematikan lampu dan mulai merebahkan diri, mencoba menyelami dunia harapan, mimpi. Sepertinya keringat kecutku menarik hati para nyamuk, kini masalahku adalah suara nyamuk bergeming di sekitar telingaku. Dan seketika aku berfikir, bagaimana mengusir nyamuk ini. Sadarkah aku, bahwa ketika aku berfikir, maka tak akan pernah aku masuk dalam dunia mimpi.


Sinar matahari sudah mulai muncul, pintu kamar terus saja diketok keras. Suara gelisah mengaung-ngaung dibalik kayu yang terkunci itu. Sedang seorang didalam kamar dengan setengah sadar berusaha bangkit untuk kembali hidup. Hidup dalam dunia yang sangat membosankan. Dengan alur yang monoton.


“Di.. Adi… bangun!!! Udah siang, sholat subuh dulu”,


“Ehrrmmm.. iya pak”,


“Udah siang… heh,… bajumu kan belum disetrika, nanti telat terus… adikmu saja sudah mandi…. ,” mengapa suara Ibu selalu lebih mengagetkan dari pada Bapak. Dan tidak bisa diprediksi kapan akan berhenti.


Ibuku masih saja mengomel, sedang aku baru saja mengambil wudlu. Sebenarnya sudah terlambat, matahari saja sudah terbit. Tapi bagaimana lagi, aku harus tetap sholat subuh. Jam sudah menunjukkan pukul enam, langkahku kupercepat. Baju sekolah hari jumat ini tak sempat aku setrika, kerutan-kerutan random harus aku tak pedulikan. Biarlah seperti biasa disebut anak lusuh oleh guru-guru.


Semua sudah selesai disiapkan, sepedaku sudah siap aku kayuh. Adik perempuanku hari ini terlihat rapi, dia baru saja berhasil bangun pagi, prestasi yang harus diapresiasi. Sanyangnya giliran aku yang kesiangan, paska malam yang menyedihkan. Orang tuaku sudah menutup pintu rumah, dan meletakkan kunci pada persembunyiannya. Agar ketika kami pulang nanti bisa membuka pintu tanpa menunggu mereka pulang.


“Kak… jangan telat ya!”


“Berdoalah…”, dalam hatiku.


Pergelangan tanganku sudah mulai linu, mengacungkan jari telunjuk dan tanganku harus diangkat tinggi-tinggi, berjalan menuju ruang BK, menyuarakan yel-yel yang tak pernah berubah.


“Aku berjanji tidak telat lagi…!!! Aku berjanji tidak telat lagi…!!! Aku berjanji tidak telat lagi…!!!,” sampai masuk keruangan BK.


Ramai, sekitar sepuluh anak yang berbaris dan menyuarakan yel-yel, layaknya mahasiswa menyuarakan suara rakyat pada aksi demonstrasi, yang bahkan para pemimpin negeri tak pernah mendengarnya, hanya tahu bahwa aksi itu menggelisahkan saja, sehingga perlu diusir dengan gas air mata. Sama halnya kami, sepuluh anak malang yang berteriak berjanji agar tidak terlambat, namun apa suara kami didengar, disimak, dimaknai dengan sebenarnya oleh mereka yang melihat dan mendengarnya. Tidak. Suara kami hanya sekedar bentuk hukuman saja, tak memiliki makna nyata bahwa kami berjanji. Mungkin hanya tuhan yang memaknai janji kami untuk tidak terlambat sebagai sebuah janji. Yang semestinya di tepati, mengandung resiko dosa. Tapi aku bahkan tak pernah merasa berdosa karena terlambat. Karena setiap hari harapan untuk tidak terlambat telah terlambat.


Setiap hari wajah-wajah baru muncul mengisi barisan, tak pernah ada yang selama dua hari berturut-turut terlambat kecuali aku, bahkan pernah aku sekali selama seminggu berturut-turut absen ber yel-yel. Membanggakan bukan. Walalupun anggota barisan setiap hari berubah-rubah rata-rata mereka bukan lah orang baru dalam dunia keterlambatan berangkat sekolah. Hanya saja pagi ini muncul sebuah wajah baru, benar-benar baru, dan dia seorang perempuan.


Malang betul terlihat, suaranya parau, serak dan mengandung nada-nada isak menjelang menangis. Wajahnya lelah, pucat tak ada sinarnya. Matanya memerah, semerah pipinya, menahan sesuatu yang mungkin keluar dari matanya. Angin terasa sepoi, waktu menjelma menjadi terasa perlahan, bahkan tanganku tak lagi linu. Ringan rasanya. Kami sama-sama berada dibarisan paling depan.


“Auhchhhhh……”


“Suaranya mana, jangan melamun,” Tangan Pak Kepala sekolah menjewer.


“Aku berjanji tidak telat lagi…!!! Aku berjanji tidak telat lagi…!!!,”





KOMENTARIN YANG PEDES BANG... MAM.... KANG... PEDES... HAH... HAH... HAH... ES MANA ES

No comments :

Post a Comment