cerita itu perlu

Thursday, November 23, 2017

Jam Dinding yang Menggelisahkan

No comments :

Jam Dinding yang Menggelisahkan

Rumput-rumput mulai mengering terkena sinar matahari pagi, kumbang-kumbang sudah hampir tidak menghinggapi bunga-bunga liar di parit-parit sawah. Bau-bau asap mulai merayap masuk kedalam hidung yang kembang kempis dalam nafas. Aliran darah meninggi mengikuti detak jantung yang sedang menjelma menjadi pesaing tempo suara bedug malam takbiran.


Semua orang bersaing menempuh jalan, mencoba menjadi yang terdepan, tak peduli dengan lawan tak peduli dengan kawan, mereka sama-sama mengejar waktu dipagi yang terik. Seolah pertandingan balap karung, tak masalah jatuh yang penting sampai tepat waktu.

Wanita-wanita muda berjajar menaiki sepedanya pelan dan menghambat. Mereka berjajar seolah para tentara kodim 212 berbaris rapi, hampir setengah lebar jalan. Sementara mereka berjajar tenang dengan berbincang ramai layaknya para ibu-ibu rumah tangga yang berkumpul diwarung-warung sayuran, membahas tayangan sinetron tadi malam.

Jalan terbagi menjadi dua bagian secara otomatis, terbentuk secara alami hanya pada jam-jam sibuk saja. Menjadi jalur cepat dan jalur lambat. Tidak ada aturan tertulis untuk mengatur pembagian jalan ini, semua terjadi secara otomatis. Semacam menjadi adat pengguna jalan di jam sibuk ini. Siapa yang melanggar siap-siap mendapat ocehan-ocehan kasar pengguna jalan lainnya.

Sebagian besar pengguna jalur cepat adalah orang-orang berseragam, yang rapi tapi sebenarnya parfum mereka sudah terkalahkan dengan bau keringat badan mereka. Mereka adalah orang-orang yang gelisah, mengharap waktu berhenti untuk sementara sampai mereka tiba di gerbang sekolah. Gerbang akan ditutup sampai istirahat pertama, aturan yang menyebalkan.

Kota kami masih dipenuhi pesepeda ria, tapi beberapa asap motor dua tak sudah mampu menjadi masalah polusi. Aku selalu marasa mual menghirup asap-asap hitam dari knalpot yang panas itu.

Aku hampir setengah menempuh jarak menuju sekolah adikku, seorang gadis kecil kelas dua SD. Entah mengapa ibuku menyekolahkan jauh-jauh di SD kota, padahal SD ku waktu kecil lebih dekat dari rumah. Bagiku menyekolahkan dia di kota tak lebih dari kesialan yang harus aku tanggung sampai aku pergi meninggalkan kota kecilku ini.

Layaknya anak kelas dua SD pada umumnya, dia masih saja menyanyi walau sebenarnya jam masuk sudah hampir tiba. Sesembari sekali bertanya mengapa kaka terlalu cepat, sepeda ini tak ada gabus di boncengannya sambil menahan rasa sakit pantatnya.

jam dinding yang menggelisahkan

Jalan-jalan kerikil sudah hampir habis kulalui, memasuki jalan pasar hewan sebelum masuk jalan aspal kota, selalu aku memperlambat laju sepedaku. Selain karena ramainya jalan oleh para pedagang ayam, di pasar itu terdapat pos kamling yang terpasang jam dinding berwarna hijau. Pukul 07.00 sepuluh menit lagi. Teringat pak Kepala Sekolah yang selalu berdiri disamping pintu gerbang sambil mengawasi guru yang siap menangkapku. Dengan wajah yang penuh senyum palsu dan kedua tangannya dia singkap dibelakang punggungnya, pak kepala membaca jampi-jampi supernya, “parker dan berbaris”, tak ada akan anak yang melawan.

Waktunya mengebut, memasuki jalan besar beraspal halus kini aku hanya mampu berharap mampu menempuhnya setengah jam untuk sampai ke gerbang sekolahku. Tak ada harapan lagi untuk tidak terlambat karena harapan itu sendiri sudah terlambat. Namun, setidaknya satu mata pelajaran tidak terlewatkan. Aku harap.

Adikku masih tenang saja di singgasananya yang keras itu, hanya sesekali dia bersuara, menyanyi lagu-lagu anak-anak yang tak pernah aku sukai sejak aku memutuskan keluar dari sekolahku dulu, TK Bahagia. Namun, seketika dia berteriak, “Kak!!!…kenapa sekolahku sepi?”, sepertinya dia mengintip dari belakang dan melihat sekolahnya. Aku hanya diam, masih mengatur nafas, hanya bergumam dalam hati, ”Kali ini rasain kamu terlambat”.

Sepeda mulai masuk ke gang depan sekolah SD itu, walau aku sudah memelankan sepeda itu tapi masih terasa sangat cepat detak jantungku. Kami sudah berada di gerbang sekolah adikku, aku menyuruh dia turun dari sepedaku karena aku sendiri sudah terburu-buru untuk pergi.

Ah mengapa jadi seperti ini, dia tak mau turun. Semakin aku paksa untuk turun dia malah matanya memerah, dia nangis. “Kak, aku ga berani masuk, aku takut, aku telat, aku ga berani, aku mau pulang kak!…”, apa.

Maksudnya apa ini, kenapa? Semua semakin menjadi runyam, dia merengek-rengek tak mau untuk masuk, mentari semakin terik, dan kacaunya tak ada jam dinding yang bisa aku lihat disekitar sekolahnya. Aku gelisah melihat anak kecil yang tak pernah bisa bengun pagi ini menangis, tapi lebih gelisah lagi dengan gerbang sekolahku.

Aku hanya bisa memaksanya masuk, namun sepertinya itu hanya percuma. Akhirnya dia setuju jika dia masuk dengan syarat aku menemaninya. Mungkin menemaninya bukan suatu hal yang susah, tapi aku hampir-hampir tak bisa membanyangkan apa yang akan orang-orang di dalam SD No. 1 sekotaku ini jika melihat aku, dengan pakaian sekolah lusuh dan celana yang sobek terkena pedal sepeda setiap hari..

Ah, sepertinya memang aku harus masuk menemaninya. Aku dan dia berjalan melewati pagar sekolah yang bercat coklat, sampai pada sebuah tangga naik menuju kelasnya aku semakin malu terlihat salah satu guru. Apakah yang dia fikirkan tentang aku, mungkinkah mereka berfikir aku hanya tetangga seorang murid sekolah ternama ini yang bekerja mengantar anak orang kaya sampai pada sekolahnya. Sepertinya tidak, guru itu tersenyum kepadaku, dan mengatakan pada adikku untuk cepat kekelasnya. Tak jauh kami sudah hampir sampai didepan kelasnya, tapi dia masih tak mau masuk sendiri kedalam kelasnya, dan juga masih terisak-isak.

Aku terus menyakinkannya untuk masuk, sampai dia masuk satu langkah kedalam kelas aku langsung meninggalkannya. Aku tak mau mempersulit diri, aku masih mendengar suara tangisannya sampai aku turun dari lantai dua. Semoga tak ada apa-apa dengannya, aamiin.

Aku semakin tak peduli, jalan mulai merenggang, sepertinya jam sibuk telah berlalu tinggal beberapa orang yang tenang berkendara selainnya mengebut. Lima puluh meter dari SD tadi aku harus menyabrang pertigaan tanpa lampu merah, salah satu hal yang paling aku benci adalah menyabrang, di kota sekecil ini tak ada bedanya kelakuan antara pengguna jalan kota besar dengan pengguna jalan kotaku, tak ada yang mau mengalah. Sekitar hampir tujuh menit aku baru mampu melewati penghalang perjalanan itu.

Dengan melewati beberapa tikungan lagi aku akan sampai pada tujuanku, itu yang selalu ku dengungkan dalam hati. Akhirnya aku melihat plang bertuliskan MTsN. Sudah hampir sampai, aku hampir sampai gerbangnya sudah terlihat. Semakin cepat aku mengayuhnya, dan sampailah aku didepan gerbang.

Aku tak melihat ada Pak Kepala Sekolah berdiri seperti hari-hari yang lalu, tak ada anak-anak yang berbaris menunggu masuk ruang BK, sepi, namun gerbang tertutup. Sepedaku aku standarkan, mencoba melihat-lihat, sepertinya aku sudah terlalu terlambat. Aku hanya mampu melihat gerbang karatan didepanku dan mengutuki nasibku menunggu jam istirahat agar bisa masuk kedalam.

Apa daya aku duduk di depan gerbang dan menyandarkan punggungku. Sepertinya aku adalah anak terakhir yang datang, dan tak ada teman lainnya yang mengalami nasib seburuk ini. punggungku terasa tak mantap disangga gerbang, pintu gerbang itu terdorong. Benda karatan ini tak tergembok!.

Aku tak mampu menahan lagi untuk menunggu masuk pada jam istirahat nanti, hanya satu hal yang masih mengganjal dalam fikiranku, dimana aku harus meletakkan sepeda tuaku itu.

Tasku sudah aku lempar ke belakang tembok bangunan pos satpam yang ternyata sedang kosong, hanya terlihat sebuah motor vespa tua warna hitam kesayangan pak Mulyono, satpam terbaik sepanjang masa sekolahku disitu. Satpam ini tak jauh lebih brutal kalau dia sedang berangkat menuju tempat kerjanya dipagi hari, suara vespanya yang keras mengikuti cepatnya dia dijalanan. Hanya ada satu kesempatan, ini tak boleh gagal. Sepedaku akhirnya parkir didepan sebuah rental computer yang ternyata baru buka.

Aku mulai memasuki halaman sekolah, sampai sini keadaan masih aman. Tapi bagaimana aku harus sampai kelasku, ada tiga kelas dihadapanku sebelum aku bisa menggapai gagang pintu kelas, dan apakah kelasku sekarang ada gurunya, kalau ada maka walau aku mampu melewati tiga kelas itu, tamat.

Terlihat beberapa anak kelasku berlari memutari halaman sekolahku yang panjang itu, terimakasih Tuhan. Mereka sedang dihukum karena tidak berangkat Pramuka jumat kemarin, semua berjalan lancar aku tiba-tiba masuk dalam barisan mereka ikut lari mengitari halaman.

Bel pergantian jam pelajaran berbunyi, semua berakhir, pak Adi yang menghukum mereka yang tidak berangkat Pramuka memperbolehkan kami masuk dengan melambaikan tangan kepada kami. Beliau melambai sambil lalu dari kelas, aku selamat dibantu teman-temanku masuk kekelas. Tanpa aku harus berbaris mengangkat tangan kanan dan berteriak untuk tidak terlambat lagi dan tanpa tas yang kutaruh di belakang pos satpam.

No comments :

Post a Comment