cerita itu perlu

Tuesday, March 17, 2015

Jaket Merah, Vol 1, p. 2

No comments :
Hari ini aku di interogasi di ruang OSIS, lima orang anggota OSIS kelas XI mengerubungi dengan wajah mengerikan. Suara mereka bersautan mengutukku karena memasang permen karet di kelas X1. Suaranya keras tepat di depan wajahku, mencoba melemahkan mentalku di depan mereka. Walaupun ulahku itu kuniatkan untuk membuat bangga diriku di depan teman-teman main di kelasku, tetap saja wajahku murung ketika di serbu para anggota OSIS. Baguslah aku tidak mendapat hukuman tambahan, bagi mereka bisa membentak-bentak aku di ruang OSIS sudah memuaskan. Hanya saja aku harus membersihkan permen-permen karet di ruang kelas X1 tersebut selepas jam sekolah habis.


Setelah jam istirahat kedua habis aku di persilahkan kembali ke kelas. Wajahku murung lemas menuju kelas, itu harus terjadi, bagaimanapun aku tak boleh terlalu sombong dengan langkah tak bersalah di depan mereka. Rencanaku cukup berhasil di pagi hari tadi, walaupun memakan korban anak kelas X1. Di lain waktu aku akan meminta maaf kepada dia.


Memasuki kelasku semua anak laki-laki melihatku tereyuh, seakan mereka ingin merasakan apa yang aku rasakan. Mereka benar-benar temanku. Bahkan ketika aku mendekati kerumunan mereka, mereka menepuk-nepuk pundakku, sebagai tanda kepedulian mereka.


“Aku salut denganmu kawan…”


“Yah… aku juga Bay…”


“Mari kita rayakan keberhasilah Bayu… hahaha…” kata Dito, semua melihat wajahnya.


“Kamu lapar Dit..?,” Sulaiman mengglojo kepala Dito.


“Oke nanti kalian selepas pulang ke rental duluan ya, sembunyiin stik yang bagus buatku… aku nanti ada urusan sebentar,…” aku tak ingin mendapat stik rusak saat main PS selepas sekolah.


“Oke Boss,…” teriak mereka bersama-sama.


Aku menunggu sekolah sedikit sepi, setidaknya hingga kelas X1 habis penghuninya. Setelah setengah jam menunggu di samping kantor, aku menuju kedapur sekolah, meminjam peralatan untuk membersihkan hasil karyaku pagi tadi. Sedikit minyak tiner, sikat kamar mandi, kain lap kotor di dapur, gayung untuk tempat air yang kuambil di kamar mandi khusus guru, sepertinya cukup.


Kelas X1 benar-benar kosong, sama seperti pagi tadi sepi senyap. Ada tiga titik yang harus ku bersihkan. Pertama aku membersihkan bagian pintu, permen karet yang tertempel terlihat flat karena sudah mengenai orang, sedikit hitam tapi tetap saja lengket. Yang kedua di meja depan dekat pintu juga sama, tetap saja lengket, tapi yang bagian ini kondisinya sudah sangat buruk, mungkin karena tergencet bokong ka Dewi. Permen itu sudah menyebar ke beberapa bagian, meja itu terlihat belepotan permen karet.


“Ehem…hmmm,…” ada suara tiba-tiba di belakangku.


Aku melihat siapa yang datang, dan melanjutkan kegiatanku. Permen di meja ini memang jauh lebih sulit di bersihkan. Aku berharap dia pergi langsung, tapi dia hanya berdiri diam di belakangku.


“Heh… apa kamu ga ada kerjaan, lihat-lihat orang sibuk,…?” tanyaku kepadanya.


“Ada kok… ada yang tertinggal di kelas,…” dia gadis berjaket merah itu, pergi ke bangkunya.


Sepertinya tiner belum bisa menghilangkan kotoran permen karet di meja ini, apalagi tekstur meja yang berserat, membuatnya semakin lekat menempet padanya. Gadis itu tak kunjung pergi, entah apa yang dia lakukan di mejanya. Sesekali aku melihatnya, dia terlihat konsentrasi kepada sesuatu.


“Jadi itu ulahmu?,…”


Aku terkejut dan berpaling, dua meter di depanku ada seorang wanita kurus dengan wajah membara. Dengan tangan yang mengepal, seperti memasang kuda-kuda. Aku berdiri tegap didepannya.


“Iya,…”


Dia melangkah setengah lari kepadaku, aku langsung saja menghindarinya. Air di gayung yang aku pegang sedikit tumpah. Membasai sepatu hitamnya.


“Hei… aku bisa jelasin… ga usah pake emosi,…” jawabku dan perangainya melunak.


“Hmmm… boleh aku ikut bantu membersihkan,…” wajahnya tiba-tiba senyum palsu.


“Haa,…”


“Boleh ga?,….” Bentak dia. Wajahnya nya kembali berubah galak.


Aku mengangguk, semua peralatan kebersihan yang ku pegang sekarang dikuasai olehnya. Dia diam cukup lama melihat permen karet yang menempel di meja itu. Mungkin dia ragu.


“Kalau ga bisa, ga usah sok bantu-bantu,…” saranku.


“Bukannya ga bisa, nih mah gampang… ko baunya busuk ya,…” sambil menutup hidung sambil melirikku.


“Kamu mau bantu atau Cuma mau komentar, kalau Cuma….


“Ini harus pake pisau, dikorek-korek baru bersih,…” dia memutus perkataanku. Sambil mengambil pisau silet dari dalam tas pink nya.

(Ini anak kesekolah ko bawa pisau) batinku.

BERSAMBUNG DISINI

No comments :

Post a Comment