cerita itu perlu

Saturday, March 7, 2015

Ada Tiadaku

No comments :
Malam kembali, pagi kembali, sekolah kembali, tertidur dikelas kembali, menjadi bahan gurauan guru-guru didalam kelas, kembali. Sama seperti hari sebelumnya. Sama seperti yang selalu kubayangkan tentang hidupku.
Seolah aku hanya sebuah bayangan yang tak akan pernah mampu memburu tubuhku sendiri. Dimana aku ada, hanya sebagai pigura kehidupanku yang seharusnya. Aku mungkin sebenarnya hanya sebuah kabut tipis di pagi yang menjelang terang, dimana tak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku. Terang datang lalu kabut itu perlahan hilang, bersembunyi di balik tembok ketidak dianggapan.

Sekolah menjadi bagian kehidupanku dimasa ini, dimana manusia mendapat posisi kehidupan dengan jalan itu.
Tak ada aku pun sekolahku tak akan rugi, atau mungkin sebenarnya akulah beban utama bagi mereka. Hadirku tak hadir.

Gurauan-gurauan yang terjadi didalam kelas, antara mereka anak-anak kelas, tak sedikitpun aku berperan. Duniaku seolah hambar bagi mereka, imajinasi-imajinasi yang mereka anggap aneh dalam diriku, candaanku yang tak pernah bisa mereka anggap lucu. Kini aku sebenarnya dijauhi karena keanehanku. Membuatku merenung tentang siapa aku. Apakah aku lain dengan yang lain, apakah aku beda dengan yang beda.

Didalam kelas ini, sendiriku ku buat dalam dimensi duniaku sendiri, diamku sebenarnya ramai dalam hatiku. Temanku terimajinasi dalam otakku, yang kuciptakan sesuka hatiku, yang ku narasikan semau apa yang ku ingin. Ramai, sepi, gurauan, hinaan, bahkan menggambarkan aku dalam peperangan bisa aku goreskan dalam imajinasiku. Temanku adalah diriku, yang bisa aku bunuh sewaktu-waktu dan kuhidupkan ketika ku rindu.

ada tiadakuWaktu terus berjalan, jam-jam pelajaran berlalu tanpa aku merasakan mereka ada dan untukku mereka diadakan. Waktuku kuhabiskan untuk bercengkrema dengan diriku sendiri, menafikkan lingkungan sosial sekitar, bahkan kadang tak sadar aku ditemani manusia nyata satu meja dikelas ini. Dia pun lebih sering bercerita ria disaat waktu luang dengan mereka meja sebelahnya. Aku hanya diam, aku tak bisa menarasikan perbincangan. Satu masalah terkadang ku bicarakan kepadanya, tapi dua tiga kalimat keluar dari mulutku saja, setelah itu kata-kataku hambar. Bahkan ditelingaku sendiri.

Aku lebih mudah menjawab dari pada bertanya. Walaupun beribu pertanyaan berputar-putar dalam otakku, tak satupun layak untuk ku utarakan bagi mereka anak-anak kelas. Karena pertanyaan itu seperti lingkaran yang jika dijawab, jawaban itu adalah pertanyaan. Semua pertanyaan itu terkadang menggempur di saat-saat aku harus beristirahat memejamkan mata di gelap malam. Jam pelajaran kembali berlalu, tanpa aku paham apa, mengapa, dan bagaimana isi pelajaran tadi.

Pak Sudrajat melangkah memasuki kelas, sepatunya bersuara tak-tak-tak. Membangunkan lamunan panjangku, wajahnya tersenyum memandang kesetiap sudut kelas. Melihat-lihat sekitar mencari yang janggal.

“Di… maju sebentar!,”

Aku tersentak dalam diam, bingung dan takut. Ketidak mampuanku dalam mata pelajaran selalu menakutiku ketika para guru memberi perhatian kepadaku. Langkah lunglai menuju kedepan di iringi pandangan seisi ruang kelas. Pandangan sumringah yang mungkin mereka harapkan dariku hal kebodohan yang bisa ditertawakan.

“Tolong hapuskan papan tulis Di!...”

“Iya pak,…” beliau tersenyum saja melihatku.

“Kamu jangan duduk dulu, bapak minta tolong sekali lagi…” beliau berdiri dari kursinya, menanyakan pekerjaan rumah yang ia tugaskan kepada semua anak. Sambil sesekali memandang wajahku yang mulai tak tenang. Beliau terus berbicara, menanyakan hasilnya, apakah sulit untuk dikerjakan kepada anak kelas, dan membiarkan aku berdiri didepan layaknya seorang yang berada diatas podium, sedang dipersilahkan untuk mengutarakan pandangannya terhadap sebuah permasalahan, oleh seorang pembawa acara, pak Sudrajat.

“Adi sudah mengerjakan?...”

“Sudah pak, tapi belum selesai…” jawabku lemah.

“Tidak papa, kerjakan satu soal di papan ya,… nanti bapak bantu kalau kesulitan,”

Kuambil satu kertas di dalam tas setelah mencari dalam berserakannya isi tas itu, hanya ada satu buku tulis yang selainnya adalah kumpulan kertas hvs tempat ku menuangkan gambar-gambar dan tempat catatan-catatan kecil pelajaran. Dari sepuluh soal mtk, telah kujerjakan lima diantaranya dan dua soal berhasil kuselesaikan, tanpa ku yakin kebenarannya.

Spidol hitam bergerak membentuk angka-angka di papan, di dalam genggamanku ia tidak mantap seolah ingin meloncat didorong oleh ketidak percayaan diriku akan hasil yang telah aku kerjakan sendiri. Berulang-ulang penghapus merecoki hasil kerja si sepidol, mencoba memperingati spidol bahwa karyanya memiliki cacat, tapi apa daya sepidol memiliki kuasa, dia terus menulis dalam genggaman tangan kanan, tempatnya agung di kanan, sedang penghapus adalah sisi bijaksana yang selalu berusaha menghapus kesalahan sepidol, sedang berada di sisi tangan kiri. Seolah sisi kanan-kiri menyimbolkan kedudukan dan nilai tersendiri sehingga benda apapun yang berada di sisi kanan adalah lebih baik, kiri dengan kerendah hatiannya menerima nasibnya karena di tempatkan sebagai negative oleh system perspektif. Maaf… maaf,… aku menghidupkan benda mati dalam imajinasiku. Aku tak bermaksud. Diri dalam diriku yang lain tak sadar baru saja terbangun.

“Sudah pak…,”

“Oh sudah… sekarang kamu boleh duduk, terimakasih atas kerjaan PR mu,…” aku tersenyum dan berjalan menuju bangku ku di pojok belakang. Langkahku mantap berbeda dengan saat ku maju.

“Nah… Ini kerjaannya Adi betul, … kapan kamu ngerjakan soal ini Di?,…”

“Tadi malam pak,…”

“Yang lain, ada yang mau maju nomer selanjutnya?,…” pak Sudrajat menawarkan tugasnya kepada yang lain. Andai malam tadi aku bisa tertidur pulas lebih awal, dan tak terpenjara dalam pertanyaan kenapa aku tidak bisa berhenti untuk berfikir… soal itu tak akan tersentuh.


No comments :

Post a Comment